Selalu Ada Mukjizat Tuhan Di Tengah Bencana...!!!


Korban gempa 7,2 skala Richter (SR) yang diikuti tsunami di Kepulauan Mentawai pada Senin lalu (25/10) memang terus bertambah.

Tetapi, dua bayi asal Muntei Baru-Baru, Pagai Utara, selamat. Keduanya secara ajaib mampu bertahan dari sapuan gelombang laut.


Bayi Mungil Tak Berdosa Itu Kini Menjadi Yatim Piatu
[Gambar: ImmanuelTegar.jpg]
Immanuel Tegar (Foto Atas)
Salah seorang bayi tersebut dirawat di Puskesmas Sikakap, Pagai Utara. Bocah mungil itu pun menjadi perhatian warga, terutama kaum wanita. Kamis malam lalu (28/10) salah satu ruang puskesmas itu penuh sesak oleh perempuan paro baya. Di pojok ruang berukuran 4x4 meter, sang bayi terlelap dalam inkubator.

Bayi itu menjadi satu-satunya anggota keluarga yang selamat ketika tsunami menyapu rumahnya di Muntei Baru-Baru Dia bertahan, tetapi orang tua serta semua kerabat dan familinya hilang ditelan tsunami. Bahkan, desa asalnya yang berpenduduk sekitar 300 orang itu hancur. "Kami kehabisan kata-kata. Ini mukjizat," tutur Kepala Puskesmas Sikakap Marinus, 46, mengamati sang bayi.

Saat ditemukan, bayi tanpa nama tersebut tergolek lemah. Bahkan, pusamya masih basah dan belum terlepas. Petugas medis memperkirakan bayi laki-laki itu berusia kurang dari sebulan. Sejumlah luka yang mulai mengering terlihat pada wajahnya yang putih.

Marinus lantas menceritakan, pada Rabu malam (28/10) seorang ibu korban tsunami menyerahkan bayi itu kepada petugas. Saat diserahkan, kondisi sang bayi sangat lemah. "Waktu itu kami tidak yakin bayi ini bisa bertahan," kata Marinus.

Hal itu beralasan. Sebab, bayi yang belum genap sebulan tersebut baru tertangani tim medis setelah lebih dari 24 jam bertahan tanpa mengonsumsi apa pun. Bahkan, ketika tiba, bayi itu sudah kehabisan tenaga untuk menangis.

Malam ketika tsunami menerjang, sebagian warga lari- menyelamatkan diri. Ketika itu, dua kali ombak tsunami menerjang. Saat ombak kedua setinggi 15 meter menerjang, seorang warga mendengar tangis bayi. Sang bayi ditemukan terbaring di antara kayu dan sampah sisa rumah-rumah penduduk. Melihat bayi itu masih hidup, warga tadi menggendongnya menuju ke dataran tinggi. Secara bergantian, warga menyuapi bayi tersebut dengan air sisa hujan agar bertahan hidup.

Pada Selasa pagi (26/10), warga keluar dan pengungsian di dataran tinggi dan menyerahkan bayi itu kepada tim medis untuk mendapatkan perawatan. "Waktu itu kami langsung memberikan infus dan cairan susu formula. Beruntung, dia bertahan dan kondisinya membaik," tutur Marinus

Sejumlah warga menawarkan diri untuk merawat dan mengadopsi bayi itu ketika berada di puskesmas. Beberapa pejabat yang datang ke lokasi bencana saat mendampingi kunjungan Presiden SBY Kamis lalu juga tertarik untuk mengadopsi bayi tersebut. "Tetapi, tidak kami setujui," kata Lesmono Basuki, anggota tim medis dari

Dinas Kesehatan (dinkes) Mentawai. "Ini anak orang banyak. Jadi, kami belum putuskan apakah dia boleh diadopsi atau tidak," tambahnya.

Kemarin (29/10) tim medis sepakat menamai bayi itu Immanuel Tegar. Menurut Marinus, nama itu diambil berdasar kekuatan dan ketegaran sang bayi melewati masa-masa sulit. Hingga kini, tidak ada sorang pun warga yang diperbolehkan merawat. "Kalau bayi ini dilepas, kami takut tidak selamat. Dia masih membutuh perawatan intensif," ujar Lesmono.

Bayi 3 Bulan Selamat Dalam Pelukan Sang Kakak

Kisah Tegar hampir serupa dengan yang dialami bayi lain. Bayi laki-laki putra pasangan Rantinus, 36, dan Sami, 25, juga belum diberikan nama. Bayi itu selamat berkat sang kakak, Demikus, 3. Nyawanya ditukar nyawa sang kakak yang meninggal dalam upaya menyelamatkan dirinya.

Pasangan suami-istri Rantinus dan Sami memiliki empat anak. Yakni, Ralminus, 8; Sumi, 7; Demikus, 3; dan seorang bayi berusia 3 bulan. Ketika tsunami menerjang rumahnya di Muntei Baru-Baru, Rantinus dan Sami menyelamatkan diri ke tempat lebih tinggi. Mereka selamat dari gelombang laut pertama. Tetapi, rumah mereka dan seluruh isinya musnah.

Ketika datang gelombang kedua. Sami yang saal itu lari sambil menggendong Demikus dan bayinya terjatuh. Dua putranya tersebut terlepas dan hilang disapu ombak. Belakangan, anak sulungnya selamat setelah meloloskan diri dan berlari terpisah dengan sang ibu. Namun, tiga adiknya terlepas. Hanya, Rantinus, Sami, dan anak sulung mereka yang lolos.

Mereka bertahan dengan memakan daun-daunan di antara semak belukar. "Kalau tidak, kami mungkin mati kedinginan dan kelaparan." kata Rantinus di penampungan korban tsunami di Gereja Sikakap.

Esok paginya mereka turun ke perkampungan. Ketiganya mengelilingi dusun dan mencari sisa-sisa barang di antara puing rumah mereka. Hingga malam tiba, tiga anggota keluarga Rantinus bertahan dengan belasan warga lainnya. Mereka hanya makan kelapa, daun pakis, dan ikan yang terbawa arus laut. "Saya hanya bisa menangis karena tiga anak saya hilang tak jelas rimbanya," cerita Sami.

Setelah dua hari mereka bertahan. Rabu lalu tim relawan mulai datang dan mela-kukan evakuasi. Saat evakuasi itulah, tanpa diduga Sami bertemu lagi dengan dua anaknya, yakni Demikus dan adiknya (bayi laki-laki). "Saya kaget. Temyata mereka juga bersembunyi di hutan dan baru kembali ke kampung setelah dua malam," tutur Sami sambil terisak.

Ketika ditemukan, kondisi dua bocah itu lemah dan mengalami dehidrasi. Belum sempat dievakuasi, Demikus meninggal di pelukan sang ayah. Anak ketiga itu diduga memeluk sang adik semalaman untuk menjaganya agar tetap hangat di dalam hutan, dan bocah 3 tahun tersebut meninggal dalam upaya menyelamatkan nyawa adiknya yang baru berusia 3 bulan.

Kehilangan dua anak dalam waktu yang berdekatan membuat kondisi kesehatan Sami terus menurun. Matanya terlihat sembab menahan duka. Sambil terbaring di puskesmas, infus terpasang di tangan kanan. Luka di tubuhnya akibat tsunami belum kering. Dia masih kesakitan. "Hati saya tersayat-sayat. Entah apa lagi yang harus dikata," katanya lirih.

Berbeda dengan sang istri, Rantinus bisa menahan diri agar tidak larut dalam kesedihan. Walau berkali-kali air matanya menetes, dia tidak mau menangis di depan istri dan dua anaknya yang tersisa. "Kami beruntung bisa tetap bemyawa. Itu lebih penting untuk disyukuri ketimbang bersedih," ujarnya. (*)

Sumber : Jawa Pos, 30 Oktober 2010

Baca juga yang ini:

=-=-=-=-=Berlangganan Artikel=-=-=-=-=

Masukkan Alamat Email Anda:

Delivered by FeedBurner

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More